Jumat, 26 April 2013

HUKUM PERJANJIAN

TUGAS SOFTSKILL ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI
"HUKUM PERJANJIAN"





Disusun Oleh:
Nama : Inggit Dwi Septiana
NPM : 29211421
Kelas : 2EB04


UNIVERSITAS GUNADARMA
Jalan Akses UI, Kelapadua, Cimanggis
DEPOK





BAB 1 
PENDAHULUAN 

1.1 Latar Belakang
          Sebelum kita membahas terlalu jauh tentang Hukum Perjanjian, kita seharusnya mengerti, dan memahami apa itu Hukum Perjanjian dan pengimplementasiannya dalam kehidupan kita sehari-hari.
               Dengan demikian, pada bab ini saya akan membahas tentang Hukum Perjanjian, supaya dapat dibaca, dipahami dan di mengerti oleh pembaca.



BAB II
KERANGKA PEMIKIRAN


2.1 Definisi Hukum Perjanjian


               Definisi hukum perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata Perjanjian adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan hukum antara hubungan dua orang atau lebih yang disebut perikatan, yang di dalamnya terdapat hak dan kewajiban masing-masing pihak.  Perjanjian adalah sumber perikatan.

2.2 Azas-Azas Hukum Perjanjian

Ada beberapa azas yang dapat ditemukan dalam Hukum Perjanjian, namun ada dua diantaranya yang merupakan azas terpenting dan karenanya perlu untuk diketahui, yaitu:
  1. Azas Konsensualitas
    yaitu bahwa suatu perjanjian dan perikatan yang timbul telah lahir sejak detik tercapainya kesepakatan, selama para pihak dalam perjanjian tidak menentukan lain. Azas ini sesuai dengan ketentuan pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat-syarat sahnya perjanjian.
  2. Azas Kebebasan Berkontrak
    yaitu bahwa para pihak dalam suatu perjanjian bebas untuk menentukan materi atau isi dari perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan kepatutan. Azas ini tercermin jelas dalam pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.


2.3 Syarat Sahnya Perjanjian

Dalam pasal 1320 KUH Perdata disebutkan, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat (4) syarat, yaitu:
  1. Sepakat
    Bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat atau setuju mengenai perjanjian yang akan diadakan tersebut, tanpa adanya paksaan, kekhilafan dan penipuan.
  2. Kecakapan
    Bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian, harus cakap menurut hukum serta berhak dan berwenang melakukan perjanjian.
    Mengenai kecakapan pasal 1329 KUH Perdata menyatakan bahwa setiap orang cakap melakukan perbuatan hukum kecuali yang oleh Undang-Undang dinyatakan tidak cukup. Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian, yakni:

    - Orang yang belum dewasa.

    Mengenai kedewasaan Undang-Undang menentukan sebagai berikut:
    • Menurut pasal 330 KUH Perdata
      Kecakapan diukur bila para pihak yang membuat perjanjian telah berumur 21 tahun atau kurang  dari 21 tahun, tetapi sudah menikah dan sehat pikirannya.
    • Menurut pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 tahun1974 tertanggal 2 Januari 1974 tentang Undang-Undang Perkawinan
      Kecakapan bagi pria adalah bila telah mencapai umur 19 tahun, sedangkan bagi wanita apabila telah mencapai umur 16 tahun.


    - Mereka yang berada dibawah pengampuan.

    - Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang (dengan Undang-Undang Perkawinan, ketentuan ini sudah tidak berlaku lagi).

    - Semua orang yang dilarang oleh Undang-Undang untuk membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
    • Mengenai suatu hal tertentu, hal ini maksudnya adalah bahwa perjanjian tersebut harus mengenai suatu objek tertentu.
    • Suatu sebab yang halal, yaitu isi dan tujuan suatu perjanjian haruslah berdasarkan hal-hal yang tidak bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan dan ketertiban.
    Syarat no.1 dan no.2 disebut dengan syarat subjektif, karena mengenai orang-orangnya atau subjeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan syarat no.3 dan no.4 disebut syarat obyektif, karena mengenai objek dari suatu perjanjian.

    Apabila syarat subyektif tidak dapat terpenuhi, maka salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan itu adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya (perizinannya) secara tidak bebas.

    Jadi, perjanjian yang telah dibuat itu akan terus mengikat kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tersebut.

    Sedangkan apabila syarat obyektif yang tidak terpenuhi, maka perjanjian itu akan batal demi hukum. Artinya sejak semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.
    • Mengenai suatu hal tertentu, hal ini maksudnya adalah bahwa perjanjian tersebut harus mengenai suatu objek tertentu.
    • Suatu sebab yang halal, yaitu isi dan tujuan suatu perjanjian haruslah berdasarkan hal-hal yang tidak bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan dan ketertiban.

2.4 Hapusnya Perjanjian

Hapusnya suatu perjanjian yaitu dengan cara-cara sebagai berikut:
  1. Pembayaran
    Adalah setiap pemenuhan hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian secara sukarela. Berdasarkan pasal 1382 KUH Perdata dimungkinkan menggantikan hak-hak seseorang kreditur/berpiutang. Menggantikan hak-hak seorang kreditur/berpiutang dinamakan subrogatie. Mengenai subrogatie diatur dalam pasal 1400 sampai dengan 1403 KUH Perdata. Subrogatie dapat terjadi karena pasal 1401 KUH Perdata dan karena Undang-Undang (Pasal 1402 KUH Perdata).







  • Penawaran Pembayaran Tunai Diikuti oleh penyimpanan atau Penitipan Uang atau Barang pada Panitera Pengadilan Negeri
    Suatu cara pembayaran yang harus dilakukan apabila si berpiutang (kreditur) menolak pembayaran utang dari debitur, setelah kreditur menolak pembayaran, debitur dapat memohon kepada Pengadilan Negeri untuk mengesahkan penawaran pembayaran itu yang diikuti dengan penyerahan uang atau barang sebagai tanda pelunasan atas utang debitur kepada Panitera Pengadilan Negeri.

    Setelah penawaran pembayaran itu disahkan oleh Pengadilan Negeri, maka barang atau uang yang akan dibayarkan itu, disimpan atau dititipkan kepada Panitera Pengadilan Negeri, dengan demikian hapuslah utang-piutang itu.
  • Pembaharuan Utang atau Novasi

    Suatu pembuatan perjanjian baru yang menggantikan suatu perjanjian lama. Menurut pasal 1413 KUH Perdata, ada 3 macam cara melaksanakan suatu pembaharuan utang atau novasi, yaitu yang diganti debitur, krediturnya (subyeknya) atau objek dari perjanjian itu.
  • Perjumpaan Utang atau Kompensasi

    Suatu cara penghapusan atau pelunasan utang dengan jalan memperjumpakan atau memperhitungkan utang piutang secara timbal balik antara kreditur dan debitur. Jika debitur mempunyai suatu piutang kepada kreditur, sehingga antara debitur dan kreditur itu sama-sama berhak untuk menagih piutang satu dengan yang lainnya.


    Menurut pasal 1429 KUH Perdata, perjumpaan utang ini dapat terjadi dengan tidak membedakan darimana sumber utang-piutang antara kedua belah pihak itu telah terjadi, kecuali:

    • Apabila penghapusan atau pelunasan itu dilakukan dengan cara yang berlawanan dengan hukum.
    • Apabila dituntutnya pengembalian barang sesuatu yang dititipkan atau dipinjamkan.
    • Terdapat sesuatu utang yang bersumber pada tunjangan nafkah yang telah dinyatakan tak dapat disita (alimentasi).

  • Percampuran Utang

    Apabila kedudukan sebagai orang berpiutang (kreditur) dan orang berutang (debitur) berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu percampuran utang dengan mana utang-piutang itu dihapuskan, misalnya: debitur menikah dengan kreditur, atau debitur ditunjuk sebagai ahli waris tunggal oleh krediturnya.
  • Pembebasan Utang

    Menurut pasal 1439 KUH Perdata, pembebasan utang adalah suatu perjanjian yang berisi kreditur dengan sukarela membebaskan debitur dari segala kewajibannya.
  • Musnahnya Barang yang Terutang

    Jika barang tertentu yang menjadi objek perjanjian musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, jika barang tadi musnah atau hilang di luar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya.
  • Batal atau Pembatalan


    Menurut pasal 1446 KUH Perdata adalah pembatalan atas perjanjian yang telah dibuat antara kedua belah pihak yang melakukan perjanjian, dapat dimintakan pembatalannya kepada Hakim, bila salah satu pihak yang melakukan perjanjian itu tidak memenuhi syarat subjektif yang tercantum dalam syarat sahnya perjanjian.

    Menurut Prof. Subekti permintaan pembatalan perjanjian yang tidak memenuhi syarat subjektif dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
    1. Secara aktif menuntut pembatalan perjanjian tersebut di depan hakim.
    2. Secara pembelaan maksudnya adalah menunggu sampai digugat di depan hakim untuk memenuhi perjanjian dan baru mengajukan kekurangan dari perjanjian itu.


  • Berlakunya Suatu Syarat Batal

    Menurut pasal 1265 KUH Perdata, syarat batal adalah suatu syarat yang apabila terpenuhi, menghentikan perjanjian dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi suatu perjanjian.
  •  Lewat Waktu

    Menurut pasal 1946 KUH Perdata, kadaluarsa atau lewat waktu adalah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perjanjian dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-Undang.

    Dalam pasal 1967 KUH Perdata disebutkan bahwa segala tuntutan hukum, baik yang bersifat kebendaan, maupun yang  bersifat perseorangan hapus karena kadaluarsa dengan lewatnya waktu 30 tahun. Dengan lewatnya waktu tersebut, maka perjanjian yang telah dibuat tersebut menjadi hapus.


  • 2.5 Kelalaian atau Wanprestasi

    Kelalaian atau wanprestasi adalah apabila salah satu pihak yang mengadakan perjanjian, tidak melakukan apa yang diperjanjikan.
    Kelalaian atau wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak dapat berupa 4 macam, yaitu:


    • Tidak melaksanakan isi perjanjian.
    • Melaksanakan isi perjanjian, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.
    • Terlambat melaksanakan isi perjanjian.
    • Melaksanakan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.




    2.6 Jenis-Jenis Perjanjian

    Ada beberapa jenis perjanjian, yaitu:



    • Perjanjian menurut sumbernya;
    a. Perjanjian yang bersumber dari hukum keluarga, contoh perkawinan;
    b. Perjanjian yang bersumber dari kebendaan, contoh Peralihan Hak Milik;
    c. Perjanjian obligatoir, yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban;
    d. Perjanjian yang bersumber dari Hukum Acara (bewijs overeenskomst);
    e. Perjanjian yang bersumber dari Hukum Publik (publiekerchtelicke overeenskomst).
    • Perjanjian Menurut Namanya
    a. Kontrak Nominaat (bernama)
    Kontrak Nominaat merupakan kontrak yang di kenal dalam KUH Perdata, contoh : jual beli, tukar menukar, sewa menyewa, pinjam pakai, dan lain-lain;
    b. Kontrak Innominaat (tidak bernama)
    Kontrak Innominaat adalah kontrak yang timbul, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, contoh : Leasing, Franchise, Production Sharing, dan lain-lain.
    • Perjanjian Menurut Bentuknya
    Perjanjian menurut bentuknya dalam Pasal 1320 dan Pasal 1682 KUH Perdata, yaitu :
    a. Perjanjian tertulis;
    b. Perjanjian tidak tertulis.
    • Perjanjian Timbal Balik:
    Perjanjian timbal balik terdiri dari:
    a. Perjanjian timbal balik tidak sempurna, yang selalu menimbulkan kewajiban pokok bagi satu pihak, sedangkan pihak lainnya wajib melakukan sesuatu.
    b. Perjanjian sepihak, merupakan perjanjian yang selalu timbul kewajiban hanya bagi satu pihak.
    • Perjanjian Cuma-Cuma
    Perjanjian Cuma-Cuma, yaitu :
    a. Perjanjian Cuma-Cuma merupakan perjanjian yang menurut hukum hanyalah timbul keuntungan bagi salah satu pihak. Contoh : hadiah dan pinjam pakai;
    b. Perjanjian dengan alas hak yang membebani, yaitu merupakan perjanjian, disamping prestasi pihak yang satu, senantiasa ada prestasi dari pihak lain.


    Kesimpulan

    Bahwa perjanjian itu sangat jelas hukumnya di atur oleh Undang-Undang. Maka dari itu berhati-hatilah bila kita akan melakukan perjanjian. Apalagi ada bukti kuat tandatangan diatas materai. Pelajari segala sesuatunya, sebelum kita bertindak. Supaya tidak menimbulkan kerugian dimasa yang akan datang.











    Daftar Pustaka
     
    1. Subekti, R, Prof, S.H. dan Tjitrosudibio, R, 2001. Kitab Undang Undang Hukum Perdata,. Cetakan ke-31. PT Pradnya Paramita : Jakarta.
    2.  Subekti, R, Prof, S.H . Hukum Perjanjian . Cetakan ke-VIII.PT Intermasa : Jakarta
    3. Brahmandita, Alfa Sidharta. 2010. Tinjauan Teoritis - Sah dan mengikatnya, Program Studi Fakultas Hukum. FH UI: Depok
    4. http://galihpangestu14.wordpress.com/2012/04/30/hukum-perjanjian/

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar